PELAKSANAAN SISTEM EKONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN NABI MUHAMMAD DAN
KHULAFAUR RASYIDIN
1.
Pendahuluan
Pemikiran ekonomi islam diawali sejak Muhammad SAW dipilih sebagai
seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang
menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain
masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau
ekonomi (muamlah). Maslah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian
Rasulullah yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim,
Rasullullah bersabda “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”. Maka upaya
mengantas kemiskinan merupakan dari kebijakan-kebijakan social yang dikeluarkan
Rasulullah.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan tersebut menjadi pedoman oleh para
penggantinya Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, dan Ali Bin Abi
Thalib dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. al-Qur’an dan al-Hadis
digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh
para pengikutnya dalam menata perekonomian Negara.
2.
Pelaksanaan
Sistem Ekonomi Arab Jahiliyah dan Pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad Saw
(571-632M)
2.1
Perekonomian
Arab pra Islam
Sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern, ilmu ekonomi Islam
memang baru muncul pads tahun 1970-an. Tetapi, benarkah pemikiran tentang
ekonomi Islam jugs merupakan fenomena baru pads abad 20? Ternyata tidak!
Pemikiran tentang ekonomi Islam ternyata telah muncul sejak lebih dari seribu tahun lalu, bahkan sejak islam itu diturunkan melalui
Nabi Muhammad Saw. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi
khazanah pemikiran ekonomi dunia, pada masa di mana Barat masih claim kegelapan
(dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak
kejayaan dalam berbagai bidang.[1][1]
Pada masa Arab pra-Islam atau yang sering
disebut masa jahiliyah sudah biasa melakukan transaksi berbau riba. Ath-Thabari
menyatakan: "Pada masa jahiliyah,
praktik riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu
tahun. Misalnya, seorang berhutang. Ketika sudah jatuh tempo, datanglah pemberi
hutang untuk menagihnya seraya berkata, 'Engkau akan membayar hutangmu ataukah
akan memberikan tambahan (bungs) nya saja
kepadaku?Jika ia memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan maka ia pun
membayarnya. Jika tidak, maka ia akan menyempurnakannya hingga satu tahun ke
depan. Jika hutangnya berupa ibnatu
makhadh (anak unta yang berumur
satu tahun), maka pembayarannya menjadi ibnatu labun (anak unta
yang berumur dua tahun) pads tahun kedua.
Kemudian la akan menjadikannya hiqqah (anak unta yang berumur
tiga tahun), kemudian menjadikannya jadzah (unta dewasa). Selanjutnya
kelipatan empat ke atas." Juga dalam hal hutang emas ataupun uang,
berlaku riba.[2][2]
Sebagai pelaku ekspor impor, jazirah Arab memiliki pusat kota
tempat bertransaksi yaitu kota Makkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang
setup tahunnya dikunjungi, terutama karena disitulah terdapat bangunan suci
Ka'bah. Selain itu di Ukaz terdapat pasar sebagai tempat bertransaksi dari
berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan kebudayaan (puisi
Arab). Oleh karena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban balk politik,
ekonomi, dan budaya yang penting.
Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasional, yaitu
menghubungkan Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke Afrika Tengah. Dari
Makkah ke Damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah ke al-Machin
(Persia) ke Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke Zaitun dan Canton,
selanjutnya menembus daerah Melayu. Selain itu jugs dari Makkah ke aden melalul
laut menuju ke India, Nusantara, hingga Canton (al-Haddad).[3][3] Hal ini menyebabkan
masyarakat Makkah memiliki peran strategis untuk berpartisipasi dalam dunia
perekonomian tersebut. Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu para konglomerat
yang memiliki modal, kedua, para pedagang yang mengolah modal dan' para
konglomerat, dan ketiga, para perampok dan rakyat biasa yang bemberikan jaimian
keamanan kepada para khafilah pedagang dari peranatuan, mereka mendapatkan labs
keuntungan sebesar sepuluh persen.
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para
konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut
mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajakyang sangat tinggi.
Alat pembayaran yang mereka gunakan adalah koin yang terbuat dari perak, emas
atau logam mula lain yang dittru dari mata uang Persia dan Romawi. Sampai
sekarang koin tersebut masih tersimpan disejumlah museum di Timer Tengah.
Dari berbagai sumber sejarah diketahui bahwa mata uang pada masa
jahiliyah dan pada masa permulaan Islam, terdiri, dari dua macam: dinar dan
dirham. Mata uang dirham terbuat dari perak, terdiri dari tiga jenis:
Bughliyah, Jaraqiyah, dan Thabariyah. Ukurannya beragam. Bughliyah beratnya
4,66 gram, Jaraqiyah beratnya 3,40 gram, dan Thabariyah beratnya 2,83 gram.
Sedangkan mata uang dinar terbuat dari emas. Pada masa jahiliyah dan pada
permulaan Islam, Syam dan Hijaz menggunakan mata uang Dinar yang seluruhnya
adalah mata uang Romawi. Mata uang ini dibuat di negeri Romawi, berukiran
gambar raja, bertuliskan huruf Romawi. Sate dinar pada masa itu setara dengan
10 dirham.[4][4]
2.2
Sistem
Ekonomi Pada Masa Nabi
Pada masa pemerintahan Rasulullah, perkembangan ekonomi tidaklah begitu
besar dikarenakan sumber-sumber yang ada pada masa itu belum begitu banyak.
Sampai tahun ke empat hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat
kecil.[5][5] Madinah merupakan negara yang
baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi
ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang
dilakukan oleh Rasulallah Saw. merupakan langkah yang sangat signifikan,
sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah
agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif
singkat. Karenanya, Rasulullah saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat, yaitu:
a. Membangun
Masjid sebagai Islamic Centre.
b. Menjalin Ukhwah
Islamiyyah antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
c. Menjalin
kedamaian dalam Negara.
d. Membangun pasar
madinah.
e. Mengeluarkan
hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
f. Membuat
konstitusi Negara.
g. Menyusun sistem
pertahanan Negara.
Tidaklah diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad adalah pemikir dan
aktivis pertama ekonomi syariah.[7][7] Sistem ekonomi yang
diterapkan oleh Rasulullah Saw. berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran
Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat
manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang
ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya
milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Prinsip-prinsip kebijakan ekonomi yang dijelaskan al-Qur’an adalah
sebagai berikut:
a.
Allah
Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta
(QS. Al-A’raf [7]: 10).
- Manusia hanyalah Khalifah Allah SWT dimuka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
- Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah SWT, oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak sebagian atas kekayaan yang dimiliki manusia lain yang lebih beruntung.
- Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun (QS. Al- Humazah [104]: 1-3).
- Eksploitasi[8][8] ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan (QS. Al- Baqarah [2]: 275).
- Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi[9][9] kekayaan (QS. An-Nisa [4]: 11-12 dan 176).
- Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang wajib maupun sukarela terhadap individu yang memiliki kekayaan. [10][10]
2.2.1 Keuangan dan Pajak
Pada tahun-tahun awal sejak di deglarasikan sebagai sebuah Negara,
madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran Negara.[11][11] Seluruh tugas Negara
dilaksanakan kaum muslimin secara gotong royong dan suka rela.
Dalam hal ini terdapat dua hal penting. Pertama, pada awal
islam, dasar anggaran belanja Negara adalah bahwa penghasilan (pemasukan) yang
menetukan besarnya pengelauran. Artinya, besarnya pengeluaran tergantung dari
besarnya penerimaan. Karena itulah tidak terjadi deficit, tetapi aggaran yang
berimbang. Kedua, kebijakan anggaran tidak doirientasikan pada
pertumbuhan ekonomi dalam pertimbangan modern.[12][12]
Kemudian timbullah pertanyaan dalam
hal ini tentang kebijakan anggaran; yakni manakan yang harus diambil
oleh sebuah Negara menurut islam?
Maka tidak diragukan lagi bahwa konsep anggaran berimbang atau
surpuslah yang menjadi praktik yang berlaku dimasa islam. Berlaku dalam
keuangan ialah anggaran nasional yang berimbang bila pengeluaran dan penerimaan
pemerintah sama, seimbang, equilibrium[13][13].
Bila penerimaan melebihi pengeluaran dalam suatu masa tertentu,
anggarn menjadi surplus, dan sebaliknya, bila pengeluaran-pengeluaran melebihi
penerimaan, maka terjadi deficit.
Pada masa ini, pajak paling sering dipungut dari berbagai asset
tertentu dan juga asset produktif. Zakat dan ‘usr adalah pendapatan yang paling utama bagi
Negara pada masa Rasulullah yang merupakan kewajiban agama dan termasuk pilar
islam.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwasanya sumber penerimaan
pada masa Rasulullah dapat digolongkan kepada tiga golongan besar; yakni dari
kaum Muslim, dari non Muslim, dan dari sumber lainya. Dari golongan Muslimin
terdiri atas: zakat, ‘usr , zakat fitrah, wakaf, amwal fadhal
dan nawaib. Dari golongan non muslim terdiri atas : jizyah [14][14],
kharaj[15][15]
dan ‘usr [16][16].
Sedangkan dari sumber-sumber lain, seperti: ghanimah[17][17],
fai’[18][18],
uang tebusan, hadiah dari pimpinan Negara lain, pinjaman dari kaum muslimin
dan non muslim.
Table
1
Sumber-sumber
pendapatan Negara pada masa Rasulullah SAW [19][19]
No
|
Dari kaum
muslimin
|
Dari non
muslim
|
Umum
|
1
|
Zakat
|
Jizyah
|
Ghanimah
|
2
|
‘ush (5-10%)
|
Kharaj
|
Fay
|
3
|
‘Ush (2,5%)
|
‘usr (5%)
|
Uang Tebusan
|
4
|
Zakat Fitrah
|
Pinjam dari
kaum Muslimin dan non
Muslim
|
|
5
|
Wakaf
|
||
6
|
Amwal Fadail
|
||
7
|
Nawaib
|
Hadiahdari
pemerintah Negara lain
|
|
8
|
Khumus
|
Belanja pada masa Rasulullah meliputi hal-hal yang pokok, yakni
meliputi: biaya pertahanan Negara, penyaluran zakat dan ‘usr untuk mereka yang berhak menerimanya,
pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran hutang Negara serta bantuan
untuk musafir. Sedangkan hal-hal yang bersifat sekunder diperuntukkan untuk
bantuan orang yang belajar di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan
dan utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin.[20][20]
Untuk mengelola sumber penerimaan Negara dan sumber pengeluaran
Negara, Rasulullah menyerahkan kepada baitul maal dengan menganut asas
anggaran berimbang (balance budget),yaitu sama penerimaan habis
digunakan untun pengeluaran Negara (government axpenditur).
2.2.2
Kebijakan
Fiskal khusus
Pengeluaran Negara khususnya pada masa Rasulullah dilakukan dengan
beberapa cara yang merupakan implementasi kebijakan fiscal Rasulullah seperti :
a.
Meminta
bantuan dari kaum Muslimin untuk
kebutuhan pasukan gazwa dan sariya.
b.
Meminjam
peralatan dari non muslim dengan jaminan pengembalian dengan ganti rugi tanpa
membayar sewa atas penggunaannya.
c.
Meminjam
uang dari orang-orang tertentu dalam jangka pendek dan memberikannya kepada
orang-orang yang baru masuk islam di Makkah.
d.
Menerapkan
kebijakan insentif. Kebijakan ini diterapkan untuk menjaga pengeluaran serta
untuk meningkatkan partisipasi kerja dan
produksi masyarakat muslim. [21][21]
Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiscal yang
berlandaskan keadilan sejak awal pemerintahan islam. Setelah beliau wafat,
kebijakan fiscal dilanjutkan dan dikembangkan oleh para penerusnya.
3.
Pemikiran
Ekonomi Para Sahabat ( Khulafaur Rasyidin)
3.1
Masa
pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq (51 SH-13 H /537-634 M)
Dalam pemerintahan Abu Bakar,
ciri-ciri ekonominya adalah:
a. Menerapkan praktek akad– akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
b. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat
c. Tidak menjadikan ahli badar sebagai pejabat Negara, tidak mengistimewakan
ahli badar dalam pembagian kekayaan Negara.
d. Mengelolah barang tambang ( rikaz ) yang terdiri dari emas, perak,
perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan Negara.
e. Tidak merubah kebijakan Rasullah SAW dalam masalah jizyah.
Sebagaimana Rasullah Saw Abu Bakar tidak
membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah , maka pada masanya,
jizyah dapat berupa emas,
perhiasan, pakaian, kambing, onta, atau benda benda lainya.
f. Penerapan prinsif persamaan dalam distribusi kekayaan Negara
g. Ia memperhatikan akurasi penghitungan Zakat. Hasil penghitungan zakat
dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Maal dan
langsung di distribusikan seluruhnya pada kaum
Muslimin.[22][22]
3.2 Masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab (40 SH-23H/584-644M)
Beberapa hal yang dilakukan Umar ibn
al-Khattab dalam pengembangan perekonomian umat Islam pada saat itu adalah:
a. Banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab,
sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh
wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak.
b. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah,
Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
c. Pendirian
lembaga Baitul Maal
Pada masa umar bin khattab, income (pemasukan) Negara ke baitul
maal cukup banyak, yang terdiri dari income periodic dan income non periodic. Hal ini sebagaimana terlihat
pada gambar :
|
|||
|
Khalifah Umar ibn al-Khattab dalam mendistribusikan harta Baitul Mal, mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:[23][23]
1) Departemen Pelayanan Militer.
2) Departemen Kehakiman dan Eksekutif.
3) Departemen Pendidikan dan
Pengembangan Islam.
4) Departemen Jaminan Sosial.
d. Khalifah Umar mengambil inisiatif
tentang penggunaan dana Baitul Maal tersebut untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Maal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk
keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat
lainnya.
e. Membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif
tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Maal.
f. Pejabat Propinsi yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak
bergantung kepada Gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam
melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
g. Kepemilikan Tanah dalam Umar bin Khattab adalah:
Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum
Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, mengatakan, apabila engkau membagikan tanah tersebut,
hasilnya tidak akan menggembirakan.
Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal
dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari
daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini
membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran,
pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
Dalam hal ini, kalifah umar menerapkan berbagai peraturan sebagai
berikut:[24][24]
1) Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan
ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah
perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan
tersebut dapat dialihkan.
2) Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama,
meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah
seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ’ush.
3) Bekas pemilik
tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah .
4) Tanah yang
tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah
ushr.
5) Di Sawad, kharaj
dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum
dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui
air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau
cengkeh) dan perkebunan.
6) Di Mesir,
berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua dinar,
di samping tiga irdab gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka,
madu, dan rancangan ini telah disetujui khalifah.
7) Perjanjian
Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai,
pembagian tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
h. Zakat dalam pemerintahan Umar bin Khattab.
Pada masa Rasulullah Saw., jumlah kuda di Arab
masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena
digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. di Hudaybiyah mereka
mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang
yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum
Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat. Karena maraknya perdagangan kuda pedagang memohon ke Kalifah supaya
dikenakan zakat sehingga ditetapkan zakat kuda sebesar satu dinar.[25][25]
Mengenakan khums zakat atas karet dan
hasil laut di Yaman karena barang-barang tersebut dianggap hadiah dari Allah. Ushr
dibebankan kepada suatau barang hanya sekali dalam setahun. Khalifah Umar mengenakan pajak pembelian 2,5%
untuk pedagang Muslim, 5% untuk kafir dzimmi dan 10% untuk kafir harbi.
Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr
di pasar-pasar Madinah, orang-orang yang berdagang di Madinah juga dikenakan
pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan
persentasenya menjadi 5% untuk minyak
dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.
i. ‘usr dalam
pemerintahan Umar bin Khattab
Sebelum Islam datang, setiap suku atau
kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (‘ush) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap
transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah
negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk
mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang
masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani
olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya.
j. Pemberian dari
non-Muslim.
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah
atas ternaknya kecuali orang Kristen
Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Umar mengenakan jizyah kepada ahli kitab Bani Taghlib , tetapi mereka
terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah. Nu'man ibn Zuhra
memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian
mereka menjadi aset negara. Umar
menerima sedekah 2 kali lipat dengan syarat mereka tidak boleh membaptis seorang
anak atau memaksanya menerima kepercyaan mereka
k. Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan
al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah
dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar (sebuah koin emas) dan dirham (sebuah
koin perak).[26][26]
l. Klasifikasi dan Alokasi
Pendapatan Negara
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima.
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi
pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
1) Pendapatan zakat dan ’ush. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa
pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mal pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan
dalam Al-Quran.
2) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai
kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan
menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut,
Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana
kepada orang tersebut
yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan
untuk para petugas.
3) Pendapatan kharaj, fai, jizyah , 'ush (pajak
perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini
digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi
biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan
sebagainya.
4) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
3.3
Masa
pemerintahan Utsman ibn Affan (47 SH-35 H / 577-656 M)
Khalifah Usman Bin Affan berhasil melakukan
ekspansi kewilayaan Armenia, Tunesia, Cyprus, Rhodes, Dan Bagian Tersisa Dari
Persia, Transoxania Dan Tabristan.
Khalifah Usman Bin Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti
kebijakan umar Bin Khattab, dalam rangka membangun sumber daya alam ia
melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan jalan, pembentukan
organisasi kepolisian secara permanen dan pembentukan armada laut.[27][27] Khalifah Ustman tidak
mengambil upah dari kantornya bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara
sehingga terjadi kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Irqam bendahara baitul mall
yang juga menola menerima upah. Mempertahankan sistem pemberian bantuan dan
santunan serta memberikan sejumlah uang kepada masyarakat yang berbeda-beda.
Khalifah Usman Bin Affan dalam mengelolaan zakat mendelegasikan keuangan menaksir harta yang dizakati
kepada pemiliknya masing masing. Disamping itu, khalifah Usman Bin Affan
berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah
dipotong seluruh hutang – hutang yang bersangkutan. Menaikkan dana pensiun
sebesar 100 dirham, memberi rangsum tambahan berupa pakaian serta
memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan dimasjid untuk fakir miskin dan musafir. Meningkatkan
jumlah pemasukan kharaj dan jizyah dari Mesir dari 2 juta dinar menjadi 4 juta
dinar setelah. Kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu
sehingga memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham
dibandingkan masa Khalifah Umar yang tidak membagikan tanah tersebut. Khalifah
Usman selalu mendiskusikan tingkat harga yang sedang berlaku di pasaran dengan
seluruh Muslimin di setiap selesai melaksanakan shalat berjamah.[28][28]
3.4
Masa
pemerintahan Ali ibn Abi Thalib (600-661M)
Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib system
administrasi Baitul Mal, baik ditingkat pusat maupun daerah, telah
berjalan dengan baik. Kerja sama antara keduanya berjalan dengan lancar maka
pendapatan Baitul Maal mengalami surplus. Dalam pendistribusian
harta Baitul Mal, Khalifah Ali ibn Abi Thalib menerapkan prinsip
pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa
memandang status sosial atau kedudukannya di dalam Islam. Beliau
berpendapat bahwa seluruh pendapatan Negara yang disimpan dalam Baitul Mal
harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada sedikitpun dana yang
tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam sepekan. Hari kamis
merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua
perhitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu, perhitungan baru dimulai.
Adapun kebijakan moneter di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
antara lain[29][29]:
a. Kebijakan
moneter di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib meneruskan kebijakan masa Rasulullah.
b. Pada umumnya
mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham, namun Ali bin Abi Thalib
membuat gagasan baru, yaitu mencetak mata uang sendiri.
c. Terobosan Ali
bin Abi Thalib di bidang moneter yang sangat monumental adalah mencetak mata uang dinar yang mempunyai ciri
khusus tidak meniru dinar romawi.
Selanjutnya, dalam bidang fiscal, khususnya dari segi pemasukan kas
Negara, khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan pajak pemilikan hutan sebesar
4000 dirham dan mengijinkan Ibnu Abbas,
Gubernur Kuffah, memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan
sebagai bumbu masaka.[30][30]
4.
Kesimpulan
Jika kita relevansikan antara pemikiran Nabi Muhammad dan para
sahabatnya atau di kenal dengan istilah Khulafaur Rasyidin maka dapat
kita rasakan bahwa sebagian pedoman yang di lakukan Rasulullah telah menjadi
pedoman oleh sebagian masyarakat yang masih belum terpengaruh terhadap
perekonomian Global orang-orang barat. Di Indonesia, perkembangan pembelajaran
dan pelaksanaan ekonomi Islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat.
Undang-Undang yang mendukung tentang sistem ekonomi, antara lain
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah
diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia yang termasuk bank syariah di dalamnya. Oleh karena
itu sebagai generasi penerus bangsa kita tetap harus berpegang teguh terhadap
kesyariahan yang telah menjadi pedoman Nabi Muhammad SAW. Yang berpinsip pada Al-qur’an
dan As-Sunnah.
[1][1] M.B. Hendrie
Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam, cet. Ke- I (Yogyakarta: Ekonisia,
2003), hal. 69.
[2][2] Abul Hasan
'Ali al-Hasan An-Nadwi. Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw (penterjemah; Muhammad Halabi Hamdi dkk.), cet.
Ke- I (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), hal. 28.
[3][3] Ibid.,
hal. 12.
[4][4] Ibid., hal. 86-87
[5][5] Heri
Sudarsono. Konsep Ekonomi Islam suatu pengantar. Cet-ke III, (Yogyakarta,
Ekonisia: 2004), hal. 120.
[6][6] Ibrahim Lubis.
Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Cet.Ke-I,(Jakarta: Kalam Mulia. 1994),
hlm.10.
[7][7]
Juhaya S. Praja. Ekonomi Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),hlm.
41.
[8][8] Eksploitasi
(bahasa Inggris: exploitation)
yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu
berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
[9][9] Redistribusi berartisuatu proses perpindahan hak dari satu orang ke orang yang lain
atau dari satu kelompok kekelompok yang lain, biasanya yang berpindah adalah barang dan
jasa (Sairin,2001;68).
[10][10] Adiwarman
Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Ialam, edisi ke-III,(Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 36.
[11][11] Ibid., hal.
37.
[12][12]
Mohamad Hidayat. An Introduction to The Sharia Economic,(Jakarta Timur:
Zikrul Hakim, 2010), hal.175.
[13][13] Equilibrium ialah
Keseimbangan pasar (market equilibrium) akan tercapai jika jumlah produk yang
diminta sama dengan jumlah produk yang ditawarkan, atau harga produk yang
ditawarkan sama dengan harga produk yang diminta pembeli
[14][14] Pajak yang di
pungut dari non Muslim sebagai imbalan atas perlndungan yang diberikan oleh
pemerintahan Islam.
[15][15] Pajak atas
harta. Juga pajak atas tanahatau hasil tanah (mirip dengan jizyah)
[16][16] Pajak yang
harus dibayar dari hasil kekayaan tanah orang islam, rata-rata 10% bila tadah
hujan, bila airnya diperoleh dari irigasi maka dipingut pajak rata-rata 20%.
[17][17] Harta rampasan
yang diperoleh melalalui peperangan, dapat berupa peralatan perang, ataupun
tanah kekuasaan.
[18][18] Segala sesuatu
yang dikuasai kaum Muslim dari harta orang Kafir dengan tanpa peperangan.
[19][19] Heri
Sudarsono. Op. Cit. hal.124.
[20][20]
Mohamad Hidayat. Op.,Cit, hal.176.
[21][21]
Ibid.,hal. 177-178.
[22][22]
Adiwarman Azwar Karim. Op.,Cit, hal.55.
[23][23] Afzalurrman. Doktrin
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dhaka Bakti Wakaf, 1995), jilid 2, hal.
169.
[24][24] Irfan Mahmud
Ra’ana. Ekonomi Pemerintahan Umar Bin Khattab, (Jakarta:Pustaka Firdaus,
1997), hal. 44.
[25][25]
Adiwarman Azwar Karim. Op., Cit, hal. 69.
[26][26]
Ibid., hal. 73.
[27][27]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), hlm. 61.
[28][28]
Adiwarman Azwar Karim. Op.,Cit, hlm. 81.
[29][29]
Mohamad Hidayat. Op.,Cit, hal. 214.
No comments:
Post a Comment